UTS Dua

UJIAN TENGAH SEMESTER DUA

JINAYAT

1. Sebutkan jenis-jenis Jarimah Hudud dan sebutkan jenis-jenis perampokan beserta hukumannya!

Jawab:

Jenis-jenis Jarimah Hudud:

Ø Zina;

Ø Menuduh orang lain berbuat zina (qazaf);

Ø Meminum minuman keras;

Ø Mencuri;

Ø Menggangu keamanan (hirabah);

Ø Murtad; dan

Ø Pemberontakan (al-bagyu)

Jenis-jenis perampokan:

Ø Menakut-nakuti atau intimidasi, tanpa mengambil barang atau membunuh;

Ø Mengambil harta korban, tanpa membunuh korban;

Ø Membunuh korban, tanpa mengambil barang;

Ø Mengambil barang/harta, sekaligus membunuh korban.

2. Saat berburu (hunting) di Hutan Pamijahan, Bogor, pada tanggal 20 Januari 2008, Bahurekso dan Pancasona sepakat untuk membagi hasil buruan kepada para anak yatim piatu. Berbekal dua senjata laras panjang di tengah malam, Bahurekso berupaya membidik seekor rusa yang sedang menikmati rumput dibalik pohon beringin. Dari jarak 50 meter, sang rusa tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Sedangkan Pancasona berjalan perlahan dari arah berlawanan sambil mengawasi rusa dimaksud. Bahurekso mengarahkan dan selanjutnya menarik pelatuk senjata yang disandangnya ke rusa. Dor! Dor! Dor…! Senjata Bahuekso menyalak. Ia lalu bergegas menuju kearah binatang buruannya. Bahurekso terkejut luar biasa ketika rusa yang diincarnya tidak berada di tempat. Tetapi 10 meter dari tempat ia berdiri, terdengar suara rintihan berat. Setelah didekati, Bahurekso mendapat karibnya, yaitu Pancasona, tergeletak berlumuran darah terkena 3 butir peluruyang keluar dari moncong senjata Bahurekso. Pancasona meninggal tanpa sempat mengucapkan sepatah kata. Tim Reskrim Polresta Bogor yang datang lalu menahan Bahurekso atas tuduhan melakukan pidana pembunuhan. Di persidangan Hakim menjatuhkan vonis mati kepada Bahurekso karena melakukan pembunuhan. Keluarga Bahurekso memprotes keputusan Hakim yang dinilai tidak adil.

a) Menurut Anda, apakah protes keluarga Pancasona tersebut sah secara hukum?

b) Apa katergori pembunuhan yang dilakukan oleh Bahurekso?

c) Apa yang dapat dilakukan keluarga Pancasona atas pembunuhan yang dilakukan oleh Bahurekso?

Jawaban:

a) Menurut pendapat Saya, protes keluarga Pancasona tersebut tidak sah secara hukum, alasannya karena pengadilan tidak akan menerima protes serta merta dari pihak keluarganya. Akan tetapi seandainya keluarga Bahurekso ingin menuntut atas perbuatan yang dilakukan oleh Pancasona harus terlebih dahulu mendaftarkan protesnya secara lisan/tulisan ke pengadilan dengan disertai bukti-bukti yang kuat.

b) Katergori pembunuhan yang dilakukan oleh Bahurekso adalah pembunuhan by mistake, alasannya Tujuan utama Bahurekso adalah memburu binatang rusa buruannya, akan tetapi tidak sengaja peluru yang keluar dari senjata Bahurekso meleset dan mengenai Pancasona sampai akhirnya meninggal.

c)

3. Pada tanggal 01 Januari 2008, saat pesta pergantian tahun 2007 menuju tahun 2008, Leghari, Nawas dan De Javu melihat Hassan Khan dan Rohaya melakukan hubungan seksual tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah diantara keduanya. Hassan masih lajang dan belum pernah menikah. Rohaya sudah bersuami dan memiliki 2 anak: Mariyani dan Marimutu da Silva. Hassan Khan dan Rohaya pun diadukan kepada aparat penegak hukum dan akhirnya ditahan. Berdasarkan keterangan Leghari, Nawas dan De Javu yang secara langsung melihat aksi perzinaan tersebut, maka Jaksa di Pengadilan Shariah Republik Islam Pakistan menuntun dijatuhkan hukuman 100 kali cambuk kepada Hassan Khan dan Rohaya dengan hukuman 1 tahun penjara sebagai Ta’zir. Sedangkan Leghari, Nawaz dan De Javu dihukum cambuk 90 kali Karena telah melakukan pidana Qadzaf. Tentu saja Leghari, Nawaz dan De Javu kesal atas putusan pengadilan. Ketiganya merasa telah bersusah payah melaporkan kasus tersebut kepada yang berwajib, tetapi justru dipersalahkan. Banyak orang yang hadir didalam persidangan kasus tersebut juga menyesalkan tindakan hakim.

a) Apa pendapat Anda dalam menyikapi tuntutan Jaksa diatas?

b) Bagaimana Anda menyikapi vonis Hakim kepada Leghari, Nawaz dan De Javu?

c) Apa jenis jarimah yang telah dilakukan oleh Hassan Khan dan Rohaya diatas?

d) Apa yang seharusnya vonis yang dijatuhkan kepada Hassan Khan dan Rohaya jika keduanya terbukti di persidangan melakukan pidana Zina?

Jawaban:

a) Tuntutan Jaksa benar untuk tersangka dihukum cambuk 100 kali, karena mereka berdua statusnya belum menikah.

b) Vonis hakim bagi Saksi yang ikut dihukum cambuk 90 kali benar, karena Saksi menuduh orang lain berzina tapi tidak mendatangkan Saksi minimal 4 orang.

c) Jarimah yang dilakukan oleh Hasan Khan dan Rohaya adalah jarimah hudud, yaitu jenis jarimah

d) Vonis yang dijatuhkan adalah rajam.

UTS Empat (IV)

UJIAN TENGAH SEMESTER EMPAT (IV)

FILASAFAT HUKUM ISLAM

1. Lima bentuk Negara menurut Plato antara lain :

1) Aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh aristokrat (cendekiawan) sesuai dengan pikiran keadilan. Keburukan merubah aristokrasi menjadi :

2) Timokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan. Timokrasi ini berubah menjadi :

3) Oligarkhi, yaitu pemerintahan oleh para golongan hartawan. Keadaan ini melahirkan milik partikulir, maka orang-orang miskin bersatu melawan kaum hartawan dan lahirlah :

4) Demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat miskin (jelata). Karena salah mempergunakannya, maka keadaan ini berakhir dengan kekacauan atau anarkhi.

5) Tirani, yaitu pemerintahan oleh seorang penguasa yang bertindak dengan sewenang-wenang.

2. Isi Al-Qur’an menurut tinjauan syariah dalam arti luas :

a. Ajaran-ajaran (konsepsi) mengenai keimanan, yang fokusnya adalah tauhid, yaitu suatu system hubungan antara Tuhan dan mahlukNya (manusia dan alam raya).

b. Berita-berita (riwayat) tentang keadanaan umat manusia sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi Nabi dan Rosul.

c. Berita-berita yang menggambarkan kejadian yang akan datang, terutama yang berkenaan dengan janji-janji Allah seperti peristiwa qiamat, surga (jannah) dan neraka (annar).

d. Peraturan-peraturan (regulation) lahir yang mengatur hubungan manusia (habl min al-nas) dengan sesamanya dengan alam raya dan dengan Allah SWT (habl min Allah).

e. Al-qur’an merupakan mukzizat dari Nabi Muhammad SAW.

3. Peninjauan peristiwa penunjukkan Abu Bakar ash-Shiddiq oleh Nabi Muhammad SAW sebagai imam shalat fardhu dalam tinjauan qias (analogi) dan ijma’ :

Ø Menurut Qias (analogi) :

Ø Menurut Ijma’ :

4. Pengertian istilah-istilah :

a. Sunnah adalah sumber hokum Islam kedua setelah Al-Qur’an yang berisi sabda, perbuatan dan taqrir (penetapan) Nabi.

b. Heliocentric adalah berasal dari kata “Helics” artinya : matahari. Teori ini dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543), orang Jerman. Olehnya itu teori ini disebut juga dengan teori / sistem Copernicus.

Menurut teori ini bahwa :

1. Bukanlah bumi yang menjadi pusat dari peredaran benda-benda langit, tetapi mataharilah yang menjadi pusatnya, yang diedari oleh : Mercurius, Venus, bumi, bulan, mars, Yupiter, Saturnus, kemudian beberapa bintang tetap sejenis matahari.

2. falak-falak dari benda-benda langit yang mengitari matahari, bentuknya lingkaran yang bundar.

c. Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang Hukum Islam.

d. Philosophia adalah upaya atau pencaharian dari filosof untuk mendapatkan kebijaksanaan (hikmah).

e. Khulafa al-Rasyidin berarti pengganti, tidak berarti menggantikan posisi Nabi sebagai pembawa risalah kenabian, akan tetapi orang yang menggantikan posisi Nabi setelah Nabi wafat yang dapt dipercaya untuk memimpin dalam menjaga dan melestarikan warisan yang ditinggal Nabi yaitu Kitabullah dan Sunnah.

Golongan Muallaf

GOLONGAN MUALLAF

Yang dimaksud golongan Muallaf antara lain adalah, mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum Muslimin dari musuh.

· Alasan golongan ini sebagai sasaran zakat

Zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat kemanusiaan saja dan bukan sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan zakat untuk golongan muallaf. Ini.

· Macam-macam golongan Muallaf

Kelompok muallaf terbagi kedalam beberapa golongan, baik yang muslim maupun non muslim.

1. Golongan keislaman kelompok serta keluarganya.

Contoh kasus, Rosulullah memberikan kebebasan/keamanan kepada Safwan bin Umayyah saat futuh Mekkah yang ketika itu ia belum menjadi Muslim. Oleh Rosulullah ia juda dipinjami senjata/pedang dan diberi beberapa unta. Kemudian akhirnya Safwan bin Umayyah masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang baik.

Rosulullah berkata:

Ini adalah pemberian orang yang tidak kuatir akan kekafiran”

2. Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya.

Golongan ini dimasukkan ke dalam kelompok mustahik zakat, dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Dalam riwayat Ibnu Abbas dikatakan, bahwa ada suatu kaum datang kepada Nabi SAW, yang apabila mereka diberi bagian zakat, mereka akan memuji Islam dengan mengtakan “Inilah agama yang baik”, akan tetapi apabila mereka tidak diberi, mereka mencelanya.

3. Golongan orang yang baru masuk Islam.

Mereka perlu diberi santunan agar bertambah mantap keyakinannya terhadap Islam. ULAM Az-Zuhri pernah ditanya tentang siapa yang menjadi golongan muallaf ini, lalu ia menjawab: “Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam, walaupun keadaannya kaya”.

4. Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat orang kafir.

Dengan mereka diberi zakat, diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk memeluk Islam. Contoh kasus, Abu Bakr pernah memberi zakat kepada Adi bin Hatim dan Zibriqan bin Badr, padahal keduanya mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.

5. Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya dan imannya masih lemah.

Mereka diberi bagian zakat, dengan harapan imannya menjadi tetap dan kuat, kemudian memberikan dorongan untuk berjihad dan kegiatan lain. Contoh kasus, Rosulullah pernah memberi kelompok semacam ini yaitu kepada sebagian penduduk Mekkah yang telah dibebaskan dan telah masuk Islam

6. Kaum Muslimin yang bertempat tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan musuh.

Mereka diberi bagian zakat, dengan harapan dapat mempertahankan diri dan membela kaum Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari serbuan musuh.

7. Kaum Muslimin yang membutuhkan untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

Dalam hal ini zakat diberikan, untuk memperlunak hati mereka, bagi penguasa merupakan tindakan untuk memilih diantara dua hal yang ringan madharatnya dan kemaslahatannya.

Semua golongan tersebut diatas termasuk dalam pengertian “golongan muallaf”, baik mereka Muslim maupun yang kafir.

Pendapat para ulama mengenai golongan Muallaf:

Ø Menurut Imam asy-Syafi’i, golongan muallaf itu adalah orang yang baru memeluk Islam. Jadi jangan diberi bagian dari zakat orang musyrik supaya hatinya tertarik kepada Islam. Diceritakan bahwa Rosulullah pernah memberi bagian dari bagian muallaf kepada sebagian orang musyrik pada waktu perang Hunain, tapi sebenarnya itu bukan bagian dari harta zakat, akan tetapi berasal dari harta fai dan khusus dari harta Nabi SAW.

Ø Imam ar-Razi dalam tafsirnya, mengutip pendapat Imam Wahidi yang mengatakan “Sesungguhnya Allah SWT telah memperkaya kaum Muslimin untuk tidak menarik hati kaum Musyrikin.

Harta Fai adalah harta hasil rampasan perang

Sesungguhnya kaum musyrikin dibagi menjadi tiga golongan, antara lain:

  1. Meninggalkan kekufuran dengan mengemukakan dalil-dalil.
  2. Dengan paksaan dan kekerasan.
  3. Dengan pemberian dan kebaikan.

· Apakah Bagian golongan Muallaf akan hilang setelah Rasulullah SAW wafat?

Pendapat para Ulama besar tentang bagian golongan Muallaf setelah Rasulullah SAW wafat:

ü Imam Ahmad dan golongannya berpendapat, bahwa hukum muallaf tetap berlaku, tidak pernah ada nasakh dan perubahan terhadapnya.

ü Imam az-Zuhri, bahwa Yunus pernah bertanya kepada Imam Zuhri tentang golongan muallaf, lalu dijawab oleh Imam Zuhri, bahwa ia tidak mengetahui adanya nasakh dalam masalah tersebut.

ü Abu Ja’far an-Nahhas berkata: “Atas dasar ini, hukum tentang mereka bersifat tetap. Maka apabila ada seseorang yang dibutuhkan untuk menarik hatinya atau dikuatirkan akan timbul daripadanya sesuatu kejahatan terhadap kaum Muslimin atau diharapkan bertambah baik Islamnya, maka serahkanlah zakat itu kepada mereka.

ü Imam al-Qurtubi mengutip pendapat Qadhi Abdul Wahab dari golongan Maliki, berpendapat bahwa apabila Muallaf sewaktu-waktu membutuhkan, maka mereka boleh diberi zakat.

ü Qadhi Ibnu al-Arabi berpendapat bahwa apabila Islam telah kuat, maka hilanglah golongan Muallaf, namun apabila mereka membutuhkan juga mendapat bagian. Rasulullah telah pernah memberinya, karena dalam hadist sahih ada dikemukakan:

“Islam berawal dianggap asing, dan kembali akan dianggap asing”.

Dalam an-Nail dan Syarahnya dalam fikih mazhab Abadhiah dikemukakan bahwa golongan muallaf sudah hilang apabila penguasa dalam keadaan kuat dan tidak membutuhkan mereka, dengan tujuan mencegah dari kejahatannya terhadap kaum Muslimin atau menarik kemanfaatan dari mereka.

ü Imam at-Tabari meriwayatkan dari Imam Hasan, menyatakan bahwa masa sekarang ini tidak ada lagi golongan muallaf.

ü Amir asy-Sya’bi’ mengatakan, bahwa golongan muallaf itu hanya ada di zaman Rasulullah SAW, maka ketika masa pemerintahan Abu Bakar, segala bentuk penyuapan itu menjadi lenyap.

ü Imam an-Nawawi mengemukakan pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa apabila diperbolehkan menarik hati orang kafir, maka harus diberi dari bagian khas Kesejahteraan/Kemaslahatan, seperti fai atau yang lain dan jangan diberi dari harta zakat, karena tidak ada hak orang kafir atas zakat.

ü Pendapat Imam Syafi’i tentang memberi zakat terhadap golongan muallaf dari kaum muslimin setelah Nabi wafat:

1. Mereka jangan diberi bagian dari zakat, karena Allah telah memperkuat agama Islam, sehingga tidak dibutuhkan menarik hati mereka terhadap Islam melalui harta.

2. Mereka harus diberi, karena maksud dan tujuan memberi zakat kepada mereka setelah Nabi wafat masih ada.

Menurut pendapat Imam Syafi’i, ada dua jawaban pula: Pertama, diambil dari zakat, berdasarkan ayat Al-Qur’an (9:60). Kedua, adari bagian khas kemasyarakatan/kesejahteraan , seperti dari harta fai atau harta lain, karena menyerahkan sebagian harta kepada mereka termasuk ke dalam kemaslahatan kaum Muslimin.

ü Dalam mashab Maliki, ada dua pendapat: Pertama, hilangnya bagian muallaf dengan sebab kuat dan tersebarnya Islam. Kedua, bagian muallaf masih tetap ada, sebagimana telah diungkapkan oleh pendapat dua qadhi, yaitu Abdul Wahab dan Ibnu al-Arabi.

ü Dalam matan Khalil dikemukakan, bahwa hukum muallaf ini masih tetap ada dan berlaku, karena tujuan pemberian zakat kepada mereka, yaitu agar hati mereka tertarik kepada islam, bukan bertujuan menolong untuk kepentingan Islam, sehingga dengan demikian bagian ini hilang dengan sebab tersebarnya ajaran Islam.

ü Imam ash-Shawi mengemukakan, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam mashab terbagi kepada beberapa cabang: Pertama, muallaf dari golongan kafir harus diberi, dengan bertujuan agar ia mencintai Islam (pendapat Ibnu Habib). Kedua, pendapat Ibnu Arafah yang menyatakan bahwa muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam. Ia harus diberi agar semakin mantap dan istiqamah. Hukum untuk golongan ini tetap berlaku sepanjang masa, dan ini berdassarkan kesepakatan para ulama.

ü Jumhur ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwa bagian untuk golongan muallaf telah ternasakh, dan karenanya hilanglah hak mereka setelah Nabi SAW wafat dan demikian pula sampai sekarang.

ü Dinyatakan dalam al-Bada’i, bahwa pendapat tersebut adalah sahih (benar) berdasarkan ijma’ para sahabat, karena Abu Bakr dan Umar tidak pernah mengeluarkan apapun dari zakat untuk golongan muallaf, dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.

ü Menurut fikih mazhab Abadhiah dikemukakan, bahwa golongan muallaf sudah hilang apabila penguasa dalam keadaan kuat dan tidak membutuhkan mereka.

Allah SWT telah menetapkan golongan Muallaf sebagai salah satu golongan yang berhak menerima sedekah, dan Nabi SAW bersabda: “Allah SWT telah menetapkan hukum zakat dan membaginya kepada delapan golongan”.

· Batalnya pengakuan Nasakh

Nasakh artinya membatalkan hukum yang disyariatkan Allah SWT, karena yang berhak membatalkan hukum tersebut tiada lain kecuali Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada RosulNya.

Para ulama ushul-fikih telah menetapkan, bahwa pengaitan sesuatu hukum dengan sesuatu sifat yang musitak (ada asal katanya), menunjukkan adanya illat (sebab yang terdapat pada sifat tersebut).

Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan yang muallaf hatinya, menunjukkan bahwa ta’lif al-qulub (membujuk hati) merupakan illat penyerahan zakat kepada mereka. Maka apabila illat itu tidak ada, maka mereka tidak perlu diberi.

Pertanyaan : Sekarang masalahnya siapa yang mempunyai wewenang untuk menetapkan ada tidaknya illat pembujukan pada mereka?

Jawaban : Penguasa dari kaum Muslimin. Penguasa ini dapat

menghilangkan sifat muallaf suatu kaum yang sebelumnya dianggap muallaf oleh hakim Muslim. Dia mempunyai hak untuk menghilangkan dimasanya. Apabila pada masa itu tidak ada factor yang menghendakinya, karena masalah ini adalah masalah ijtihadiah yang berbeda dengan sebab perbedaan masa, daerah dan keadaannya.

ü Umar bin al-khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak berarti menentang nash atau menasakh syara’. Karena zakat itu harus diberikan kepada kelompok asnaf yang delapan, yang telah dijadikan Allah sebagai orang yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian apa yang diperbuat Umar dengan alasan apapun juga merupakan nasakh terhadap hukum memberi zakat pada golongan muallaf, apalagi bila hal itu dinyatakan sebagai ijma’ sahabat.

ü Nasakh harus ada dan terjadi ketika Rosulullah masih hidup, bukan sesudah wafat dan selesainya masa turun waktu. Sebab nasakh itu harus dengan nash, dan tidak ada nash setelah beliau wafat.

ü Ayat Al-Qur’an tidak bisa dinasakh kecuali dengan Qur’an lagi, sedang dalam Al-Qur’an tidak ada nasakh terhadap ayat tersebut, demikian pula dalam sunah.

ü Nashak hanya diketahui melalui nash yang dating langsung dari sya’ri (Allah) sendiri, atau adanya ta’arudh (pertentangan) antara dua nash dengan pertentangan yang sempurna. Sehingga todak mungkin dilakukan tarjih antara keduanya dengan cara apapun, akan tetapi diketahui sejarah masing-masing dari dua nash itu, sehingga mesti kita nyatakan bahwa nash yang datang belakangan akan menasakh nash yang datang terlebih dahulu.

Pertanyaan : Sekarang ini adakah dalam hal muallaf keadaannya seperti demikian? Adakah nash baik Qur’an maupun sunah yang bertentangan dengan nash golongan muallaf, terutama nash yang menjelaskan adanya nasakh?

Jawaban : Tidak diragukan lagi, hal itu tidak ada sama sekali. Bagaimana

mungkin adanya nasakh terhadap hukum yang sudah jelas berdasarkan ayat Qur’an, sedangkan periode risalah sudah berakhir dalam keadaan semuanya muhkam dan diamalkan.

ü Imam Syatabi mengemukakan pendapatnya dalam masalah yang sama seperti ini, bahwa hukum apabila telah tetap dan berlaku pada muallaf, maka pengakuan adanya nasakh terhadap hukum tersebut harus dengan perintah yang jelas pula. Oleh karena hukum zakat untuk golongan muallaf terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan perintah yang jelas, jadi menghilangkan setelah diketahui tetapnya nash, juga harus dengan perintah yang jelas.

ü Ulama muhaqqiq telah sepakat (ijma’), bahwa kabar ahad tidak bisa menasakh Qur’an dan tidak bisa menasakh kabar mutawatir, karena menghilangkan nash qath’i dengan nash yang bersifat dhanni. Dan apabila kabar ahad berdasarkan ijma’ ulama tahqiq tidak bisa menasakh Qur’an, padahal itu berasal dari Nabi SAW. Maka bagaimana pula kita menyatakan adanya nasakh terhadap Qur’an dengan ucapan dan perbuatan sahabat? Oleh karenanya, hal itu tidak mungkin bisa dipergunakan sebagai nasakh.

ü Sebelum Imam Syatibi, Ibnu Hazm berpendapat, bahwa tidak benar bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyatakan, bahwa dalam Qur’an dan sunah terdapat sesuatu yang meyakinkan.

Firman Allah SWT:

“Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul kecuali untuk diikuti dengan izin Allah.”

Dalam firmanNya yang lain:

“Ikutilah oleh kamu apa-apa yang dirurunkan kepada kamu dari Tuhan kamu sekalian.”

ü Segala apa yang diturunkan Allah SWT dalam Qur’an atau melalui lisan nabinNya, maka itu merupakan suatu kewajiban yang harus diikuti, sehingga apabila ada orang yang menyatakan bahwa hal itu dinasakh, maka tak usah diikuti pernyataan itu. Demikian pula pernyataan itu dianggap perbuatan maksiat terhadap Allah, perbuatan menipu dan menyesatkan, kecuali apabila ada dalil sahih yang memperkuatnya.

ü Segala sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil yang yakin tidak boleh dibatalkan dengan dalil yang bersifat dzan. Dan tidak boleh pula menggugurkan ketaatan kita terhadap perintah Allah dan RasulNya, kecuali ada nasakh yang yakin yang tidak diragukan lagi.

ü Atas dasar itu, maka yang sahih dan yang benar, bahwa bagian golongan muallaf itu tetap ada, tidak pernah dinasakh, tetap ditetapkan dengan nash yang sudah pasti, yang terdapat dalam Qur’an surat At-Taubah. Abu Ubaidah berkata: “Bahwa ayat tersebut bersifat muhkamat. Saya tidak mengetahui adanya nasakh, baik dari Qur’an maupun sunah.”

ü Apabila keadaan sikap golongan muallaf ini tidak ada keinginan memasuki agama Islam, kecuali dengan sesuatu maksud, sedangkan bila mereka murtad dan memerangi Islam, karena kekuatan dan kelebihan mereka, maka Imam boleh mengambil kebijaksanaan memberikan kepada mereka sedikit bagian dari zakat. Sehingga terpelihara tiga hal:

1. Berpegang pada Qur’an dan sunah.

2. Sisanya untuk kaum Muslimin.

3. Apabila mereka memeluk Islam, tidak mustahil mereka mau mempelajari Islam serta mungkin kecintaan mereka akan bertambah pula pada Islam.

Alasan Muallaf diberi bagian zakat:

1. Agar mereka cenderung dan cinta terhadap Islam.

2. Muallaf itu orang fakir.

3. Melihat keadaan kini yang telah berubah, dimana Islam tidak lagi memimpin.

· Kebutuhan untuk menarik dan menyerahkan zakat pada golongan Muallaf

Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kebutuhan untuk melunakan hati terhadap Islam terhenti, dengan sebab tersebar dan tegaknya Islam diatas agama lain, maka sebenarnya pendapat ini tidak benar sama sekali, karena tiga faktor:

1. Sebagian ulama Maliki mengatakan, bahwa alsan memberi zakat pada golongan muallaf, bukan menolongnya untuk kepentingan kita, sehingga akan hilang bagiannya apabila Islam telah kuat dan tersebar, akan tetapi agar ia cenderung cinta terhadap Islam, sehingga selamat dari siksa api neraka.

Dalam suatu riwayat dikemukakan:

Apabila ada seseorang meminta sesuatu kepada Nabi untuk dunianya, maka ia akan Islam karen itu.”

2. Pengakuan (lenyapnya asnaf muallaf) didasarkan pada pendapat suatu kelompok yang menyatakan, bahwa menarik hati tidaklah ada, kecuali ketika Islam dan umatnya masih lemah, sementara kelompok lain mensyaratkan bahwa muallaf itu haruslah orang fakir yang membutuhkan.

Imam at-Tabari mengatakan “Sesungguhnya Allah itu telah menempatkan zakat itu pada dua tujuan. Pertama, menutupi kebutuhan kaum Muslimin. Kedua, sebagai sarana untuk memperkuat Islam.

Dalam rangka memenuhi tujuan memperkuat Islam, maka zakat diberikan baik kepada orang kaya, maupun pada orang fakir. Dalam hal ini ia diberi bukan karena adanya kebutuhan padanya, melainkan untuk memperkuat agama, seperti halnya diberikan kepada orang-orang yang berjuang dijalan Allah, apakah ia kaya atau miskin.

3. Keadaan kini sudah berubah, dunia telah berputar, dimana kaum Muslimin tidak lagi memipin dunia, bahkan Islam kini dipandang aneh.

· Siapa Yang Berhak Menarik Hati dan Menyerahkan Zakat pada Golongan Muallaf.

Kebolehan menarik hati dan penentuan pada adanya kebutuhan, diserahkan pada penguasa dari golongan kaum Muslimin, hal ini dilakukan oleh Rosulullah dan Khulafaur-Rasyidin. Apabila penguasa/pemerintah kurang memperhatikan urusan zakat, atau urusan Islam secara keseluruhan, seperti pada jaman sekarang, maka urusan ini diperbolehkan bagi masyarakat Muslim menduduki pemerintahan dalam urusan zakat ini.

Apabila penguasa dan masyarakat golongan Muallaf tidak ada, sedangkan masyarakat Muslim mempunyai kelebihan harta, maka boleh ia menarik hati orang kafir dengan zakat tersebut, karena iti termasuk keadaan darurat, dengan tujuan hatinya akan cenderung pada Islam dan mau membela kaum Muslimin.

· Kepada siapa bagian Muallaf pada zaman kita sekarang?

Dahulu Islam berada pada posisi ekspansif, tapi sekarang berada pada posisi devensif, dihantam dari luar dan dikacaukan intern rumah tangganya. Menurut Rasyid Ridha yang paling utama untuk ditarik (diberi bagian Muallaf) pada zaman kita sekarang adalah kaum Muslimin yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya atau masuk agamanya.

· Kebolehan menarik hati dengan harta selain zakat

Pada dasarnya harta yang dikeluarkan untuk menarik harta tidak mesti dari zakat saja, dan bisa berasal dari khas baitul-baitul mal lain yang disediakan untuk keperluan ini.

Menurut pendapat Imam Syafi’i atau yang lain, yaitu memberi golongan muallaf dari bagian kemaslahatan. Semua itu dikembalikan kepada penguasa yang adil, saran dari orang yang berilmu atau berdasarkan Musyawarah Lembaga Musyawarah Umat.

Yang Berhak Menerima Zakat

ASNAF ZAKAT

Skop agihan zakat Lembaga Zakat Selangor (MAIS) berdasarkan yang telah ditetapkan oleh syara’. Asnaf tersebut sepertimana yang dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 60:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

  1. Delapan Asnaf

Zakat mal dan zakat fitrah harus diberikan kepada siapa yang disebut dalam Al Qur\’an (surat At Taubah, 9 : 60) “Sesungguhnya zakat zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Itulah yang biasa disebut delapan asnaf. Dari delapan asnaf itu di Indonesia tidak ada riqab dalam arti memerdekakan budak. Sebab di Indonesia tidak ada budak yang dimaksud itu.

  1. Fakir, “Fakir dalam persoalan zakat ialah orang yang tidak mempunyai barang yang berharga dan tidak mempunyai kekayaan dan usaha sehingga dia sangat perlu ditolong keperluannya”.
  2. Miskin, Sekali lagi bahwa zakat itu hutang kepada Allah : “Miskin dalam persoalan zakat ialah orang yang mempunyai barang yang berharga atau pekerjaan yang dapat menutup sebagian hajatnya akan tetapi tidak mencukupinya, seperti orang memerlukan sepuluh dirham tapi hanya memiliki tujuh dirham saja. Jadi dengan kaidah di atas, bahwa fakir itu lebih parah dari miskin.
  3. Amil, “Amil ialah orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat, menyimpannya, membaginya kepada yang berhak dan mengerjakan pembukuannya”
  4. Mualaf

Mualaf ada 4 macam :

Pertama : Mualaf muslim ialah orang yang sudah masuk Islam tapi niatnya atau imannya masih lemah,maka diperkuat dengan diberi Zakat.

Kedua : Orang telah masuk Islam dan niatnya cukup kuat, dan ia terkemuka di kalangan kaumnya. Ia diberi zakat dengan harapan kawan kawannya akan tertarik masuk Islam.

Ketiga : Mualaf yang dapat membendung kejahatan orang kafir yang di sampingnya.

Keempat : Mualaf yang dapat membendung kejahatan orang yang membangkang membayar zakat.

Bagian ketiga dan keempat kita beri zakat sekiranya mereka kita perlukan, misalnya karena mereka kita beri zakat, maka kita tidak usah menyediakan angkatan bersenjata guna menghadapi kaum kafir atau pembangkang zakat yang biayanya pun akan lebih besar. Adapun polongan pertama dan kedua maka kita beri zakat tanpa syarat”.

  1. Riqab, Yang artinya mukatab ialah budak belian yang diberi kebebasan usaha mengumpulkan kekayaan agar ia dapat menebus dirinya untuk merdeka. Dalam hal ini ada syarat, bahwa yang menguasai atau memilikinya sebagai budak belian itu bukan si muzakki sendiri sebab jika demikian maka uang zakat itu akan kembali kepadanya saja.

Demikian Al Bajuri jilid 1 halaman 294 : “Adapun mukatab oleh atau bagi muzakki tidak boleh diberi zakatnya, karena faidah pemberian zakat itu akan kembali kepadanya”.

  1. Gharim

Gharim ada tiga macam :

Pertama : orang yang meminjam guna menghindarkan fitnah atau mendamaikan pertikian/permusuhan.

Kedua : orang yang meminjam guna keperluan diri sendiri atau keluarganya untuk hajat yang mubah.

Ketiga : orang yang meminjam karena tanggungan, misalnya para pengurus masjid, madrasah atau pesantren menanggung pinjaman guna keperluan masjid, madrasah atau pesantren itu”

  1. Sabilillah., “Sabilillah ialah jalan yang dapat menyampaikan sesuatu karena ridla Allah baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur Ulama mengartikan sabilillah di sini adalah perang. Bagian sabilillah (dari zakat) itu diberikan kepada para angkatan bersenjata yang lillahi-ta\’ala artinya tidak mendapat gaji dari pemerintah.” Pada zaman ini yang paling pentig bagian sabilillah itu ialah guna membiayai para propagandis Islam dan mengirim mereka ke negara-negara non Islam guna penyiaran agama Islam oleh lembaga lembaga Islam yang cukup teratur dan terorganisasi. Termasuk sabilillah ialah nafkah para guru-guru sekolah yang mengajarkan ilmu syariat dan ilmu-ilmu lainnya yang diperlukan oleh masyarakat umum” Soal sabilillah ini sebaiknya kita mengambil faham yang luas, sebab jika mengambil faham yang sempit sekarang ini di Indonesia tidak ada sabilillah.
  2. Ibnussabil, “Adapun ibnusabil ialah orang yang mengadakan perjalanan dari negara di mana dikeluarkan zakat, atau melewati negara itu. Dia dia diberi zakat jika memang menghajatkan dan tidak bepergian untuk ma\’siat”.

Bagian ini tidak setiap waktu ada, akan tetapi baiklah untuk itu disediakan sekedarya.

Beberapa ketentuan khusus

a. Pengaturan bagi fakir miskin

Bila hasil pengumpulan zakat cukup banyak, seharusnya pembagian untuk para fakir miskin diatur demikian : “Fakir miskin yang biasa berdagang (ada pengalaman dan pengetahuan berdagang) diberi modal berdagang yang besarnya diperkirakan keuntungannya cukup guna biaya hidup, agar sekali diberi untuk selamanya. Atau mereka dapat bekerja sebagai tukang kayu, batu dan lain-lainnya, mereka diberi alat alatnya agar dengan alat-alat itu mereka bekerja sehingga sekali diberi alat untuk selamanya. Jika berdagang tidak dapat, bertukang pun tidak dapat, ia akan diberi bekal seumur ghalib (umur rata-rata 63 tahun). Iman Kurdi berpendapat bahwa bukanlah kepada orang yang tidak dapat berdagang maupun bertukang itu langsung diberi uang yang mencukupi hidupnya seumur Ghalib; tetapi yang dimaksud orang itu diberi modal yang sekiranya hasil yang diperoleh dari modal itu dapat mencukupi hidupnya. Oleh karena itu maka modal itu harus dibelikan tanah pekarangan atau binatang ternak; apabila ia mempunyai kemahiran mengolah/memeliharanya.”

Dengan dasar keterangan di atas, maka harta zakat itu baik sekali dijadikan modal usaha, misalnya sepuluh orang fakir, hasil mereka dari zakat dijadikan modal semisal pabrik tahu. Mereka bekerja bersama dan hasilnya dimakan bersama pula. Zakat dalam Al-Qur\’an kadang-kadang disebut dengan kata shadaqah misalnya : dan kadang-kadang disebut dengan kata infak, misalnya : Zakat hukumnya wajib, sedangkan shadaqah jika dimaksud zakat maka hukumnya wajib juga, tapi shadaqah yang tidak dimaksud zakat maka hukumnya sunat. Adapun infak jika dimaksud zakat maka hukumnya wajib, tetapi infak yang tidak dimaksudkan zakat maka hukumnya ada yang wajib juga seperti infak kepada isteri, orang tua dan anak. Jawab Rasulullah : Betul pendapat Ibnu Mas\’ud itu, suamimu dan anak-anakmu adalah orang yang lebih berhak menerima shadaqahmu/zakatmu. Hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari.

b. Zakat kepada sanak kerabat

Memberikan zakat kepada sanak kerabat itu demikian baiknya, karena selain memberi akan berarti juga merapatkan persaudaraan (silaturahim). Adapun yang dimaksud sanak kerabat itu misalnya saudara laki-laki atau perempuan, paman, bibik, uwak dan lain-lain asal mereka termasuk mustahik.
Demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai dan Tirmidzi sebagai hadis hasan. “Shadaqah kepada orang miskin (yang bukan kerabat) itu mendapat pahala sadaqah, sedangkan sadaqah kepada si miskin yang kerabat itu mendapat dua pahala, pahala silaturahim dan pahala sadaqah”.

c. Zakat kepada pencari ilmu

Pemberian zakat kepada para pelajar dan mahasiswa itu boleh, terutama jika yang dipelajari itu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh agama, dan mereka karena belajar itu tidak berkesempatan mencari nafkah. Demikian kitab Fikhussunnah jilid I halaman 407 : “Jika orang dapat berusaha mencari nafkah dengan cara yang sesuai dengan keadaannya akan tetapi ia masih sibuk menghasilkan ilmu syariat, dan sekiranya ia berusaha mencari nafkah maka akan terputus usaha mencari ilmu itu, maka kepadanya boleh diberikan zakat karena menghasilkan ilmu yang serupa itu hukumnya fardu kifayah” Adapun pelajar, mahasiswa yang tidak ada harapan berhasil belajarnya, kepada mereka tidak boleh diberikan zakat. “Adapun orang yang menurut perhitungan tidak akan menghasilkan pelajarannya, maka tidak halal zakat baginya sekiranya ia dapat berusaha, meskipun nyatanya ia masih duduk dibangku sekolah”.

d. Zakat kepada suami yang fakir

Seorang isteri yang memiliki kekayaan berupa barang yang wajib dizakati dan barang itu telah cukup senisab, maka ia boleh mernberikan zakatnya kepada suaminya asal suami itu termasuk golongan mustahik dan zakat yang diterimanya tidak akan dijadikan nafkah kepada isterinya. Dalam hal ini ada dasar hukum dari hadis Bukhari : “Abu Said Al Hudri mengatakan, bahwa Zainab isteri Adu Mas\’ud berkata : Wahai Rasulullah, Engkau hari ini memerintahkan bershadaqah/berzakat. Saya mempunyai perhiasan dan akan saya shadaqahkan/saya zakati, sedangkan Ibnu Mas\’ud (suamiku) berpendapat, bahwa ia dan anak anaknya adalah orang~rang yang lebih berhak menerima shadaqah/zakatku. Maka Rasulullah bersabda pendapat Ibnu Mas\’ud itu betul, bahwa suami dan anakmu lebih berhak daripada orang lain untuk menerima shadaqahmu” Riwayat Bukhari.

e. Zakat kepada orang shaleh

Diseyogyakan zakat dibenkan kepada ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang baik adab kesopanannya. Orang yang bila diberi zakat akan dipergunakan untuk maksiat, maka orang semacam itu janganlah diberi zakat.

Dalam hal itu Abu Said Al Hudri meriwayatkan, bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Gambaran orang mukmin dengan imannya seperti kuda dengan tali ikatnya, sekali sekali kuda itu lepas tapi kembali lagi kepada tali ikat itu. Demikian orang mukmin kadang kadang lupa tetapi kembali lagi kepada imannya. Berikanlah makanan kepada orang-orang yang takwa dan orang-orang mukmin yang baik-baik”.

Adapun orang yang dianggapnya kurang baik, akan tetapi jika diberi zakat ada harapan akan baik, maka orang serupa itu sebaiknya diberi. Demikian Kitab Fikhussunnah jilid I halaman 405 : “Kecuali bila pemberian zakat itu dapat menghadapkan mereka ke arah yang baik dan membantu mereka guna perbaikan diri mereka”.

JARIMAH

JARIMAH

Secara bahasa jarimah mengandung pengertian dosa, durhaka. Larangan-larangan syara’ (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan pelanggarnya mendapat ancaman hukuman.

Larangan-larangan syara’ tersebut bisa berbentuk melakukan perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Melakukan perbuatan yang dilarang misalnya seorang memukul orang lain dengan benda tajam yang mengakibatkan korbannya luka atau tewas. Adapun contoh jarimah berupa tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan ialah seseorang tidak memberi makan anaknya yang masih kecil atau seorang suami yang tidak memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya.

Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana. Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.

Jarimah terbagi ke dalam tiga unsur yakni unsur formal, materil dan moril. Unsur formal (rukun syar’i) adalah adanya ketentuan nas yang melarang atau memerintahkan suatu perbuatan serta mengancam pelanggarnya. Unsur material (rukun maddi) adalah adanya tingkah laku berbentuk jarimah yang melanggar ketentuan formal. Sedangkan unsur moril, (rukun adabi) adalah bila pelakunya seorang mukalaf , yakni orang yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Walaupun secara umum jarimah terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi secara khusus setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri.

Pembagian jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi. Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat -ringannya sanksi hukum, dari sisi niat pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Ditinjau dari sisi berat ringannya sanksi hukum, jarimah dapat dibagi atas jarimah hudud, jarimah qisas-diah, dan jarimah ta’jir.

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu). Jarimah qisas-diah adalah tindak pidana yang diancam hukuman kisas atau diat. Yang termasuk jarimah kisas-diat ialah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. Adapun jarimah ta’zir ialah tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa macam hukuman.

Hanya saja, jarimah macam ini dan jenisnya tidak ditentukan karena meliputi semua perilaku yang selamanya dianggap sebagai jarimah , seperti menipu dan menghina orang lain. Sebagian besar jarimah ta’zir ditentukan oleh penguasa, dengan syarat sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta tidak bertentangan dengan ketentuan nas dan kaidah-kaidah umum. Secara bahasa jarimah mengandung pengertian dosa, durhaka. Larangan-larangan syara’ (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan pelanggarnya mendapat ancaman hukuman.

Larangan-larangan syara’ tersebut bisa berbentuk melakukan perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Melakukan perbuatan yang dilarang misalnya seorang memukul orang lain dengan benda tajam yang mengakibatkan korbannya luka atau tewas. Adapun contoh jarimah berupa tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan ialah seseorang tidak memberi makan anaknya yang masih kecil atau seorang suami yang tidak memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya.

Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana. Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.

Jarimah terbagi ke dalam tiga unsur yakni unsur formal, materil dan moril. Unsur formal (rukun syar’i) adalah adanya ketentuan nas yang melarang atau memerintahkan suatu perbuatan serta mengancam pelanggarnya. Unsur material (rukun maddi) adalah adanya tingkah laku berbentuk jarimah yang melanggar ketentuan formal. Sedangkan unsur moril, (rukun adabi) adalah bila pelakunya seorang mukalaf , yakni orang yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Walaupun secara umum jarimah terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi secara khusus setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri.

Pembagian jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi. Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat -ringannya sanksi hukum, dari sisi niat pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Ditinjau dari sisi berat ringannya sanksi hukum, jarimah dapat dibagi atas jarimah hudud, jarimah qisas-diah, dan jarimah ta’jir.

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu). Jarimah qisas-diah adalah tindak pidana yang diancam hukuman kisas atau diat. Yang termasuk jarimah kisas-diat ialah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. Adapun jarimah ta’zir ialah tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa macam hukuman.

Hanya saja, jarimah macam ini dan jenisnya tidak ditentukan karena meliputi semua perilaku yang selamanya dianggap sebagai jarimah, seperti menipu dan menghina orang lain. Sebagian besar jarimah ta’zir ditentukan oleh penguasa, dengan syarat sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta tidak bertentangan dengan ketentuan nas dan kaidah-kaidah umum.