GOLONGAN MUALLAF
Yang dimaksud golongan Muallaf antara lain adalah, mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum Muslimin dari musuh.
· Alasan golongan ini sebagai sasaran zakat
Zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat kemanusiaan saja dan bukan sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan zakat untuk golongan muallaf. Ini.
· Macam-macam golongan Muallaf
Kelompok muallaf terbagi kedalam beberapa golongan, baik yang muslim maupun non muslim.
1. Golongan keislaman kelompok serta keluarganya.
Contoh kasus, Rosulullah memberikan kebebasan/keamanan kepada Safwan bin Umayyah saat futuh Mekkah yang ketika itu ia belum menjadi Muslim. Oleh Rosulullah ia juda dipinjami senjata/pedang dan diberi beberapa unta. Kemudian akhirnya Safwan bin Umayyah masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang baik.
Rosulullah berkata:
“Ini adalah pemberian orang yang tidak kuatir akan kekafiran”
2. Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya.
Golongan ini dimasukkan ke dalam kelompok mustahik zakat, dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Dalam riwayat Ibnu Abbas dikatakan, bahwa ada suatu kaum datang kepada Nabi SAW, yang apabila mereka diberi bagian zakat, mereka akan memuji Islam dengan mengtakan “Inilah agama yang baik”, akan tetapi apabila mereka tidak diberi, mereka mencelanya.
3. Golongan orang yang baru masuk Islam.
Mereka perlu diberi santunan agar bertambah mantap keyakinannya terhadap Islam. ULAM Az-Zuhri pernah ditanya tentang siapa yang menjadi golongan muallaf ini, lalu ia menjawab: “Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam, walaupun keadaannya kaya”.
4. Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat orang kafir.
Dengan mereka diberi zakat, diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk memeluk Islam. Contoh kasus, Abu Bakr pernah memberi zakat kepada Adi bin Hatim dan Zibriqan bin Badr, padahal keduanya mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.
5. Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya dan imannya masih lemah.
Mereka diberi bagian zakat, dengan harapan imannya menjadi tetap dan kuat, kemudian memberikan dorongan untuk berjihad dan kegiatan lain. Contoh kasus, Rosulullah pernah memberi kelompok semacam ini yaitu kepada sebagian penduduk Mekkah yang telah dibebaskan dan telah masuk Islam
6. Kaum Muslimin yang bertempat tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan musuh.
Mereka diberi bagian zakat, dengan harapan dapat mempertahankan diri dan membela kaum Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari serbuan musuh.
7. Kaum Muslimin yang membutuhkan untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.
Dalam hal ini zakat diberikan, untuk memperlunak hati mereka, bagi penguasa merupakan tindakan untuk memilih diantara dua hal yang ringan madharatnya dan kemaslahatannya.
Semua golongan tersebut diatas termasuk dalam pengertian “golongan muallaf”, baik mereka Muslim maupun yang kafir.
Pendapat para ulama mengenai golongan Muallaf:
Ø Menurut Imam asy-Syafi’i, golongan muallaf itu adalah orang yang baru memeluk Islam. Jadi jangan diberi bagian dari zakat orang musyrik supaya hatinya tertarik kepada Islam. Diceritakan bahwa Rosulullah pernah memberi bagian dari bagian muallaf kepada sebagian orang musyrik pada waktu perang Hunain, tapi sebenarnya itu bukan bagian dari harta zakat, akan tetapi berasal dari harta fai dan khusus dari harta Nabi SAW.
Ø Imam ar-Razi dalam tafsirnya, mengutip pendapat Imam Wahidi yang mengatakan “Sesungguhnya Allah SWT telah memperkaya kaum Muslimin untuk tidak menarik hati kaum Musyrikin.
Harta Fai adalah harta hasil rampasan perang
Sesungguhnya kaum musyrikin dibagi menjadi tiga golongan, antara lain:
- Meninggalkan kekufuran dengan mengemukakan dalil-dalil.
- Dengan paksaan dan kekerasan.
- Dengan pemberian dan kebaikan.
· Apakah Bagian golongan Muallaf akan hilang setelah Rasulullah SAW wafat?
Pendapat para Ulama besar tentang bagian golongan Muallaf setelah Rasulullah SAW wafat:
ü Imam Ahmad dan golongannya berpendapat, bahwa hukum muallaf tetap berlaku, tidak pernah ada nasakh dan perubahan terhadapnya.
ü Imam az-Zuhri, bahwa Yunus pernah bertanya kepada Imam Zuhri tentang golongan muallaf, lalu dijawab oleh Imam Zuhri, bahwa ia tidak mengetahui adanya nasakh dalam masalah tersebut.
ü Abu Ja’far an-Nahhas berkata: “Atas dasar ini, hukum tentang mereka bersifat tetap. Maka apabila ada seseorang yang dibutuhkan untuk menarik hatinya atau dikuatirkan akan timbul daripadanya sesuatu kejahatan terhadap kaum Muslimin atau diharapkan bertambah baik Islamnya, maka serahkanlah zakat itu kepada mereka.
ü Imam al-Qurtubi mengutip pendapat Qadhi Abdul Wahab dari golongan Maliki, berpendapat bahwa apabila Muallaf sewaktu-waktu membutuhkan, maka mereka boleh diberi zakat.
ü Qadhi Ibnu al-Arabi berpendapat bahwa apabila Islam telah kuat, maka hilanglah golongan Muallaf, namun apabila mereka membutuhkan juga mendapat bagian. Rasulullah telah pernah memberinya, karena dalam hadist sahih ada dikemukakan:
“Islam berawal dianggap asing, dan kembali akan dianggap asing”.
Dalam an-Nail dan Syarahnya dalam fikih mazhab Abadhiah dikemukakan bahwa golongan muallaf sudah hilang apabila penguasa dalam keadaan kuat dan tidak membutuhkan mereka, dengan tujuan mencegah dari kejahatannya terhadap kaum Muslimin atau menarik kemanfaatan dari mereka.
ü Imam at-Tabari meriwayatkan dari Imam Hasan, menyatakan bahwa masa sekarang ini tidak ada lagi golongan muallaf.
ü Amir asy-Sya’bi’ mengatakan, bahwa golongan muallaf itu hanya ada di zaman Rasulullah SAW, maka ketika masa pemerintahan Abu Bakar, segala bentuk penyuapan itu menjadi lenyap.
ü Imam an-Nawawi mengemukakan pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa apabila diperbolehkan menarik hati orang kafir, maka harus diberi dari bagian khas Kesejahteraan/Kemaslahatan, seperti fai atau yang lain dan jangan diberi dari harta zakat, karena tidak ada hak orang kafir atas zakat.
ü Pendapat Imam Syafi’i tentang memberi zakat terhadap golongan muallaf dari kaum muslimin setelah Nabi wafat:
1. Mereka jangan diberi bagian dari zakat, karena Allah telah memperkuat agama Islam, sehingga tidak dibutuhkan menarik hati mereka terhadap Islam melalui harta.
2. Mereka harus diberi, karena maksud dan tujuan memberi zakat kepada mereka setelah Nabi wafat masih ada.
Menurut pendapat Imam Syafi’i, ada dua jawaban pula: Pertama, diambil dari zakat, berdasarkan ayat Al-Qur’an (9:60). Kedua, adari bagian khas kemasyarakatan/kesejahteraan , seperti dari harta fai atau harta lain, karena menyerahkan sebagian harta kepada mereka termasuk ke dalam kemaslahatan kaum Muslimin.
ü Dalam mashab Maliki, ada dua pendapat: Pertama, hilangnya bagian muallaf dengan sebab kuat dan tersebarnya Islam. Kedua, bagian muallaf masih tetap ada, sebagimana telah diungkapkan oleh pendapat dua qadhi, yaitu Abdul Wahab dan Ibnu al-Arabi.
ü Dalam matan Khalil dikemukakan, bahwa hukum muallaf ini masih tetap ada dan berlaku, karena tujuan pemberian zakat kepada mereka, yaitu agar hati mereka tertarik kepada islam, bukan bertujuan menolong untuk kepentingan Islam, sehingga dengan demikian bagian ini hilang dengan sebab tersebarnya ajaran Islam.
ü Imam ash-Shawi mengemukakan, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam mashab terbagi kepada beberapa cabang: Pertama, muallaf dari golongan kafir harus diberi, dengan bertujuan agar ia mencintai Islam (pendapat Ibnu Habib). Kedua, pendapat Ibnu Arafah yang menyatakan bahwa muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam. Ia harus diberi agar semakin mantap dan istiqamah. Hukum untuk golongan ini tetap berlaku sepanjang masa, dan ini berdassarkan kesepakatan para ulama.
ü Jumhur ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwa bagian untuk golongan muallaf telah ternasakh, dan karenanya hilanglah hak mereka setelah Nabi SAW wafat dan demikian pula sampai sekarang.
ü Dinyatakan dalam al-Bada’i, bahwa pendapat tersebut adalah sahih (benar) berdasarkan ijma’ para sahabat, karena Abu Bakr dan Umar tidak pernah mengeluarkan apapun dari zakat untuk golongan muallaf, dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.
ü Menurut fikih mazhab Abadhiah dikemukakan, bahwa golongan muallaf sudah hilang apabila penguasa dalam keadaan kuat dan tidak membutuhkan mereka.
Allah SWT telah menetapkan golongan Muallaf sebagai salah satu golongan yang berhak menerima sedekah, dan Nabi SAW bersabda: “Allah SWT telah menetapkan hukum zakat dan membaginya kepada delapan golongan”.
· Batalnya pengakuan Nasakh
Nasakh artinya membatalkan hukum yang disyariatkan Allah SWT, karena yang berhak membatalkan hukum tersebut tiada lain kecuali Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada RosulNya.
Para ulama ushul-fikih telah menetapkan, bahwa pengaitan sesuatu hukum dengan sesuatu sifat yang musitak (ada asal katanya), menunjukkan adanya illat (sebab yang terdapat pada sifat tersebut).
Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan yang muallaf hatinya, menunjukkan bahwa ta’lif al-qulub (membujuk hati) merupakan illat penyerahan zakat kepada mereka. Maka apabila illat itu tidak ada, maka mereka tidak perlu diberi.
Pertanyaan : Sekarang masalahnya siapa yang mempunyai wewenang untuk menetapkan ada tidaknya illat pembujukan pada mereka?
Jawaban : Penguasa dari kaum Muslimin. Penguasa ini dapat
menghilangkan sifat muallaf suatu kaum yang sebelumnya dianggap muallaf oleh hakim Muslim. Dia mempunyai hak untuk menghilangkan dimasanya. Apabila pada masa itu tidak ada factor yang menghendakinya, karena masalah ini adalah masalah ijtihadiah yang berbeda dengan sebab perbedaan masa, daerah dan keadaannya.
ü Umar bin al-khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak berarti menentang nash atau menasakh syara’. Karena zakat itu harus diberikan kepada kelompok asnaf yang delapan, yang telah dijadikan Allah sebagai orang yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian apa yang diperbuat Umar dengan alasan apapun juga merupakan nasakh terhadap hukum memberi zakat pada golongan muallaf, apalagi bila hal itu dinyatakan sebagai ijma’ sahabat.
ü Nasakh harus ada dan terjadi ketika Rosulullah masih hidup, bukan sesudah wafat dan selesainya masa turun waktu. Sebab nasakh itu harus dengan nash, dan tidak ada nash setelah beliau wafat.
ü Ayat Al-Qur’an tidak bisa dinasakh kecuali dengan Qur’an lagi, sedang dalam Al-Qur’an tidak ada nasakh terhadap ayat tersebut, demikian pula dalam sunah.
ü Nashak hanya diketahui melalui nash yang dating langsung dari sya’ri (Allah) sendiri, atau adanya ta’arudh (pertentangan) antara dua nash dengan pertentangan yang sempurna. Sehingga todak mungkin dilakukan tarjih antara keduanya dengan cara apapun, akan tetapi diketahui sejarah masing-masing dari dua nash itu, sehingga mesti kita nyatakan bahwa nash yang datang belakangan akan menasakh nash yang datang terlebih dahulu.
Pertanyaan : Sekarang ini adakah dalam hal muallaf keadaannya seperti demikian? Adakah nash baik Qur’an maupun sunah yang bertentangan dengan nash golongan muallaf, terutama nash yang menjelaskan adanya nasakh?
Jawaban : Tidak diragukan lagi, hal itu tidak ada sama sekali. Bagaimana
mungkin adanya nasakh terhadap hukum yang sudah jelas berdasarkan ayat Qur’an, sedangkan periode risalah sudah berakhir dalam keadaan semuanya muhkam dan diamalkan.
ü Imam Syatabi mengemukakan pendapatnya dalam masalah yang sama seperti ini, bahwa hukum apabila telah tetap dan berlaku pada muallaf, maka pengakuan adanya nasakh terhadap hukum tersebut harus dengan perintah yang jelas pula. Oleh karena hukum zakat untuk golongan muallaf terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan perintah yang jelas, jadi menghilangkan setelah diketahui tetapnya nash, juga harus dengan perintah yang jelas.
ü Ulama muhaqqiq telah sepakat (ijma’), bahwa kabar ahad tidak bisa menasakh Qur’an dan tidak bisa menasakh kabar mutawatir, karena menghilangkan nash qath’i dengan nash yang bersifat dhanni. Dan apabila kabar ahad berdasarkan ijma’ ulama tahqiq tidak bisa menasakh Qur’an, padahal itu berasal dari Nabi SAW. Maka bagaimana pula kita menyatakan adanya nasakh terhadap Qur’an dengan ucapan dan perbuatan sahabat? Oleh karenanya, hal itu tidak mungkin bisa dipergunakan sebagai nasakh.
ü Sebelum Imam Syatibi, Ibnu Hazm berpendapat, bahwa tidak benar bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyatakan, bahwa dalam Qur’an dan sunah terdapat sesuatu yang meyakinkan.
Firman Allah SWT:
“Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul kecuali untuk diikuti dengan izin Allah.”
Dalam firmanNya yang lain:
“Ikutilah oleh kamu apa-apa yang dirurunkan kepada kamu dari Tuhan kamu sekalian.”
ü Segala apa yang diturunkan Allah SWT dalam Qur’an atau melalui lisan nabinNya, maka itu merupakan suatu kewajiban yang harus diikuti, sehingga apabila ada orang yang menyatakan bahwa hal itu dinasakh, maka tak usah diikuti pernyataan itu. Demikian pula pernyataan itu dianggap perbuatan maksiat terhadap Allah, perbuatan menipu dan menyesatkan, kecuali apabila ada dalil sahih yang memperkuatnya.
ü Segala sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil yang yakin tidak boleh dibatalkan dengan dalil yang bersifat dzan. Dan tidak boleh pula menggugurkan ketaatan kita terhadap perintah Allah dan RasulNya, kecuali ada nasakh yang yakin yang tidak diragukan lagi.
ü Atas dasar itu, maka yang sahih dan yang benar, bahwa bagian golongan muallaf itu tetap ada, tidak pernah dinasakh, tetap ditetapkan dengan nash yang sudah pasti, yang terdapat dalam Qur’an surat At-Taubah. Abu Ubaidah berkata: “Bahwa ayat tersebut bersifat muhkamat. Saya tidak mengetahui adanya nasakh, baik dari Qur’an maupun sunah.”
ü Apabila keadaan sikap golongan muallaf ini tidak ada keinginan memasuki agama Islam, kecuali dengan sesuatu maksud, sedangkan bila mereka murtad dan memerangi Islam, karena kekuatan dan kelebihan mereka, maka Imam boleh mengambil kebijaksanaan memberikan kepada mereka sedikit bagian dari zakat. Sehingga terpelihara tiga hal:
1. Berpegang pada Qur’an dan sunah.
2. Sisanya untuk kaum Muslimin.
3. Apabila mereka memeluk Islam, tidak mustahil mereka mau mempelajari Islam serta mungkin kecintaan mereka akan bertambah pula pada Islam.
Alasan Muallaf diberi bagian zakat:
1. Agar mereka cenderung dan cinta terhadap Islam.
2. Muallaf itu orang fakir.
3. Melihat keadaan kini yang telah berubah, dimana Islam tidak lagi memimpin.
· Kebutuhan untuk menarik dan menyerahkan zakat pada golongan Muallaf
Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kebutuhan untuk melunakan hati terhadap Islam terhenti, dengan sebab tersebar dan tegaknya Islam diatas agama lain, maka sebenarnya pendapat ini tidak benar sama sekali, karena tiga faktor:
1. Sebagian ulama Maliki mengatakan, bahwa alsan memberi zakat pada golongan muallaf, bukan menolongnya untuk kepentingan kita, sehingga akan hilang bagiannya apabila Islam telah kuat dan tersebar, akan tetapi agar ia cenderung cinta terhadap Islam, sehingga selamat dari siksa api neraka.
Dalam suatu riwayat dikemukakan:
“Apabila ada seseorang meminta sesuatu kepada Nabi untuk dunianya, maka ia akan Islam karen itu.”
2. Pengakuan (lenyapnya asnaf muallaf) didasarkan pada pendapat suatu kelompok yang menyatakan, bahwa menarik hati tidaklah ada, kecuali ketika Islam dan umatnya masih lemah, sementara kelompok lain mensyaratkan bahwa muallaf itu haruslah orang fakir yang membutuhkan.
Imam at-Tabari mengatakan “Sesungguhnya Allah itu telah menempatkan zakat itu pada dua tujuan. Pertama, menutupi kebutuhan kaum Muslimin. Kedua, sebagai sarana untuk memperkuat Islam.
Dalam rangka memenuhi tujuan memperkuat Islam, maka zakat diberikan baik kepada orang kaya, maupun pada orang fakir. Dalam hal ini ia diberi bukan karena adanya kebutuhan padanya, melainkan untuk memperkuat agama, seperti halnya diberikan kepada orang-orang yang berjuang dijalan Allah, apakah ia kaya atau miskin.
3. Keadaan kini sudah berubah, dunia telah berputar, dimana kaum Muslimin tidak lagi memipin dunia, bahkan Islam kini dipandang aneh.
· Siapa Yang Berhak Menarik Hati dan Menyerahkan Zakat pada Golongan Muallaf.
Kebolehan menarik hati dan penentuan pada adanya kebutuhan, diserahkan pada penguasa dari golongan kaum Muslimin, hal ini dilakukan oleh Rosulullah dan Khulafaur-Rasyidin. Apabila penguasa/pemerintah kurang memperhatikan urusan zakat, atau urusan Islam secara keseluruhan, seperti pada jaman sekarang, maka urusan ini diperbolehkan bagi masyarakat Muslim menduduki pemerintahan dalam urusan zakat ini.
Apabila penguasa dan masyarakat golongan Muallaf tidak ada, sedangkan masyarakat Muslim mempunyai kelebihan harta, maka boleh ia menarik hati orang kafir dengan zakat tersebut, karena iti termasuk keadaan darurat, dengan tujuan hatinya akan cenderung pada Islam dan mau membela kaum Muslimin.
· Kepada siapa bagian Muallaf pada zaman kita sekarang?
Dahulu Islam berada pada posisi ekspansif, tapi sekarang berada pada posisi devensif, dihantam dari luar dan dikacaukan intern rumah tangganya. Menurut Rasyid Ridha yang paling utama untuk ditarik (diberi bagian Muallaf) pada zaman kita sekarang adalah kaum Muslimin yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya atau masuk agamanya.
· Kebolehan menarik hati dengan harta selain zakat
Pada dasarnya harta yang dikeluarkan untuk menarik harta tidak mesti dari zakat saja, dan bisa berasal dari khas baitul-baitul mal lain yang disediakan untuk keperluan ini.
Menurut pendapat Imam Syafi’i atau yang lain, yaitu memberi golongan muallaf dari bagian kemaslahatan. Semua itu dikembalikan kepada penguasa yang adil, saran dari orang yang berilmu atau berdasarkan Musyawarah Lembaga Musyawarah Umat.
Filed under: Artikel Islam | 1 Comment »